Prof. Dr. Nurcholis Madjid

25 01 2010

Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa, lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, ini malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Setidaknya ini terjadi sejak Senin pekan lalu, ketika Ketua Yayasan Wakaf Paramadina ini menyatakan siap menjadi calon Presiden Indonesia pada pemilihan umum mendatang.

Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik,” kata Utomo Dananjaya, 67 tahun, sahabat lama Nurcholish.

Utomo juga kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik,” demikian kata Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, itu. Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang aktif sekali dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.

Padahal politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat, menurut Eki Syahrudin kepada Utomo, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. “Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.

Namun, kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru itu, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. “Modernisme dilihatnya sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi,” ujar Tom.

Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan anak-anak HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.

Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. “Waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan,” kata Mas Tom.

Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.

Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor KAMI, saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.

Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.

Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah me lihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.

Memang, di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI akhirnya menerima asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata ahli pendidikan itu.

Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menurut Tom menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto, memintanya mundur. “Itu dikatakan di depan Pak Harto. Saya kira Pak Harto memahami pikiran Cak Nur itu,” kata Utomo. Terbukti sebagian pemikiran Nurcholish, misalnya soal mengadakan pemilu ulang dan menarik tentara dari politik, diambil oleh Soeharto sebagai syarat turunnya.

Tahun 1999, dia sempat digadang-gadang sekelompok orang menjadi calon presiden. Tapi Nurcholish tak mau karena tahu diri bukan orang partai. “Apalagi Gus Dur sudah mencalonkan diri. Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua imam,” katanya. Namun, Nurcholish tak berhenti mengkritik Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan yang sekarang jadi presiden, Megawati Soekarnoputri, diminta tak lagi mencalonkan diri pada Pemilu 2004. “Sebab, ada peluang kondisi Indonesia tak akan membaik dari krisis ekonomi seperti pada masa Megawati saat ini. Pertanyaan besarnya adalah kita tahan-enggak untuk lima tahun sengsara lagi?” kata Nurcholish pertengahan April lalu.

Megawati ternyata tak menggubris permintaan itu. Dan Nurcholish bereaksi dengan menggelar konferensi pers menyatakan siap jadi calon presiden pada pemilu mendatang. Pernyataan itu segera menjadi kepala berita berbagai media cetak ataupun elektronik dan disambut gembira para pendukungnya.

Namun, ada juga yang bersikap lain. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid, meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah, tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang tak kuat,” ujar Daud.

Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.





Abdurrahman Ambo Dalle: Mahaguru Bugis

25 01 2010

printSend to friend

Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.

Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.

Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.

Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.

Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?

Anregurutta (guru–Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.

Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.

Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.

Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.

Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.

Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.

Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai ‘Si Rusa.’

Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.

Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As’ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.

Berkat kerja sama antara Gurutta H As’ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As’ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As’ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.

Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As’ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).

Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As’ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As’adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As’ad.

Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.

Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.

Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya

Membangun Benteng Tauhid

Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.

Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.

Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.

Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.

Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.

Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun ‘budaya tauhid’.

Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.

Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma’rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.

Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.

Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.

Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi’yarif Ulum.





مختصر تاريخ دولة المماليك

25 01 2010

دولة المماليك

إن السيرة النبوية تعتبر من أجلِّ العلوم وأفضلها بالنسبة للمسلم؛ فهي تدرس سيرة رجل هو أعظم رجل خلقه الله ، فقد وصفه رب العزة بقوله وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ} [القلم: 4]. وإذا كانت دراسة السيرة مهمة في زمن من الأزمان فهي في زماننا أهم؛ لأن واقع الأمة الآن متأخر في كل المجالات؛ تأخر عسكري واقتصادي واجتماعي وأخلاقي.

ولا ريب أن الأمل معقود في الله لإعادة البناء، بَيْدَ أن النهوض يحتاج إلى أمرين مهمين: يقين بضرورة بناء الأمة من جديد، ودور عملي لكل منا؛ فاليقين أن نوقن في كلام رسول الله r، فقد بشَّر الصحابة في غزوة الخندق بفتوح الشام وفارس واليمن وغيرها، وألاَّ نعتمد اعتمادًا كُليًّا على الحسابات المادية، رغم أهميتها، فالأحزاب قد اعتمدوا على الجانب المادي لكنهم لم ينجحوا، وأن يكون لنا دور لإعادة إعمار الكون، قال تعالى: {كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ} [آل عمران: 110].

عشنا طويلاً في ظل مجموعة من الأيديولوجيات والأفكار المختلفة التي تحكم المجتمع والدولة، وكلها باءت بالفشل مثل الاشتراكية والرأسمالية وغيرها، ندور حول هذه الأفكار متناسين سيرة نبينا وأصوليتنا الدينية التي أدارت المجتمعات الإسلامية القديمة بخلافاتها ودولها، ومع هذا فإننا لا ننادي باستقصاء كل وقعة وفعلة وحدث في السيرة؛ فهذا ضرب من المستحيل لكننا ننادي بدراسة الأحداث العظيمة والجليلة في هذه السيرة؛ فهي مما يتكرر يومًا بعد يوم، ندرس غزوة أُحد وبدر والخندق؛ لأن واقعنا قد وجد حدثًا مشابهًا وهو حرب أكتوبر 1973م، وهو – لا شك – من الأحداث التي يتم تحليلها منذ وقعت وحتى وقتنا الراهن.

ويجب أن ندرس السيرة النبوية من جوانب عدة، وقواعد معلومة؛ ليتسنى لنا حصد ثمارها، والعمل بما فيها: (1) أن نفهم أن السيرة من المواقف التشريعية التي تدخل في إطار السنة؛ فالعلماء لهم دور كبير في استنباط الأحكام منها. (2) ندرك أن رسول الله r لا يخطو خطوة إلا بوحي من الله أو تعديل من الوحي. (3) أن نتعلم كيف نحب رسول الله r من كل موقف من مواقف حياته r. (4) أن نتعلم الحكمة في اختياره للآراء، وفي اختياره للأفعال في أثناء السيرة النبوية من أوَّلها إلى آخرها.

وسيتركز جُلّ اهتمامنا على استنباط القواعد المهمة في بناء الأمة الإسلامية، ونهتم بالأحداث التي تشبه واقعنا المعاصر، ولا يكون اهتمامنا منصبًّا على الأحداث الشائقة، وإنما على ما يفيد واقعنا المعاصر.

التعريف بالمماليك

في تاريخ الأمة الإسلامية دولة قامت على أكتاف الرقيق الذين جُلِبوا في الأصل من مختلف البلدان لأجل الحروب، ولأجل حماية الخلفاء والسلاطين، هي دولة المماليك، وقد قامت هذه الدولة بجهد عظيم في الدفاع عن الإسلام، وإقامة مجده؛ فما قصة هذه الدولة؟!

* من هم المماليك؟!

المماليك في اللغة العربية هم الذين سُبُوا ولم يُسْبَ آباؤهم ولا أمهاتهم[1]198 هـ إلى 218  هـ، وأخيه “المعتصم”الذي حكم من سنة218  هـ إلى 227  هـ ..ففي فترة حكم هذين الخليفتين استجلبا أعدادًا ضخمة من الرقيق عن طريق الشراء، واستخدموهم كفرق عسكرية بهدف الاعتماد عليهم في تدعيم نفوذهما…ومع أن لفظ المماليك بهذا التعريف يعتبر عامًا على معظم الرقيق، إلا أنه اتخذ مدلولاً اصطلاحيًا خاصًا في التاريخ الإسلامي، وذلك منذ أيام الخليفة العباسي الشهير “المأمون” والذي حكم من سنة

وبذلك ـ ومع مرور الوقت ـ أصبح المماليك هم الأداة العسكرية الرئيسية ـ وأحيانًا الوحيدة ـ في كثير من البلاد الإسلامية..وعندما قامت الدولة الأيوبية كان أمراؤها يعتمدون على المماليك الذين يمتلكونهم في تدعيم قوتهم، ويستخدمونهم في حروبهم، لكن كانت أعدادهم محدودة إلى حدٍّ ما، إلى أن جاء الملك الصالح أيوب، وحدثت فتنة خروج الخوارزمية من جيشه، فاضطُرَّ ـ رحمه الله ـ إلى الإكثار من المماليك حتى يقوي جيشه ويعتمد عليهم، وبذلك تزايدت أعداد المماليك، وخاصة في مصر[2].

* تاريخ المماليك

فقد كان الملك الصالح يستعين بالجنود الخوارزمية الذين كانوا قد فرُّوا من قبلُ من منطقة خوارزم بعد الاجتياح التتري لها، وكان هؤلاء الجنود الخوارزمية جنودًا مرتزقة بمعنى الكلمة ..بمعنى أنهم يتعاونون مع من يدفع أكثر، ويعرضون خدماتهم العسكرية في مقابل المال، فاستعان بهم الملك الصالح أيوب بالأجرة، ودارت موقعة كبيرة بين جيش الملك الصالح أيوب وبين قوى التحالف الأيوبية الصليبية، وعُرِفَت هذه الموقعة باسم موقعة غزة، وكانت في سنة642 هـ، وكانت هذه الموقعة قد وقعت بالقرب من مدينة غزة الفلسطينية، وانتصر فيها الملك الصالح انتصارًا باهرًا، حرَّر بيت المقدس نهائيًا، ثم أكمل طريقه في اتجاه الشمال، ودخل دمشق، ووحّد مصر والشام من جديد، بل اتجه إلى تحرير بعض المدن الإسلامية الواقعة تحت السيطرة الصليبية، فحرر بالفعل طبرية وعسقلان وغيرهما.

غير أنه حدث تطور خطير جدًا في جيش الصالح أيوب رحمه الله، حيث انشقت عن جيشه فرقة الخوارزمية المأجورة..!وذلك بعد أن استمالها أحد الأمراء الأيوبيين بالشام مقابل دفع مال أكثر من المال الذي يدفعه لهم الصالح أيوب، ولم تكتفِ هذه الفرقة بالخروج، بل حاربت الصالح أيوب نفسه، ولم يثبت معه في هذه الحرب إلا جيشه الأساسي الذي أتى به من مصر، وعلى رأسه قائده المحنَّك ركن الدين بيبرس.

وخرج الصالح أيوب من هذه الحرب المؤسفة وقد أدرك أنه لابد أن يعتمد على الجيش الذي يدين له بالولاء لشخصه لا لماله..فبدأ في الاعتماد على طائفة جديدة من الجنود بدلاً من الخوارزمية..وكانت هذه الطائفة هي: “المماليك”[3].

* من أين جاءوا ؟

كان المصدر الرئيسي للمماليك إمّا بالأسر في الحروب، أو الشراء من أسواق النخاسة.. ومن أكثر المناطق التي كان يُجلَب منها المماليك بلاد ما وراء النهر (النهر المقصود هو نهر جيحون، وهو الذي يجري شمال تركمانستان وأفغانستان، ويفصل بينهما وبين أوزبكستان وطاجيكستان)، وكانت الأعراق التي تعيش خلف هذا النهر أعراقًا تركيةً في الأغلب؛ لذا كان الأصل التركي هو الغالب على المماليك، وإن كان لا يمتنع أن يكون هناك مماليك من أصول أرمينية، أو مغولية، أو أوربية، وكان هؤلاء الأوربيون يُعرَفون بالصقالبة، وكانوا يُستَقدَمون من شرق أوربا بوجه خاص.

* معاملة خاصة .

وقد كانت الرابطة بين المملوك وأستاذه من طرازٍ خاص؛ فقد كان السلطان الصالح نجم الدين أيوب ـ ومن تبعه من الأمراء ـ لا يتعاملون مع المماليك كرقيق.. بل على العكس من ذلك تمامًا..فقد كانوا يقربونهم جدًا منهم لدرجة تكاد تقترب من درجة أبنائهم ..ولم تكن الرابطة التي تربط بين المالك والمملوك هي رابطة السيد والعبد أبدًا، بل رابطة المعلم والتلميذ، أو رابطة الأب والابن، أو رابطة كبير العائلة وأبناء عائلته .. وهذه كلها روابط تعتمد على الحب في الأساس، لا على القهر أو المادة ..حتى إنهم كانوا يطلقون على السيد الذي يشتريهم لقب “الأستاذ”وليس لقب “السيد”.

* تربية متميزة .

كما كانت تربية المماليك تربيةً متميزة للغاية، يمتزج فيها تعليم الشرع بفنون الفروسية، بالمحاسبة على السلوك والآداب، ويشرح لنا المقريزي رحمه الله كيف كان يتربى المملوك الصغير الذي يُشترى وهو ما زال في طفولته المبكرة فيقول:

“إن أول المراحل في حياة المملوك هي أن يتعلم اللغة العربية قراءة وكتابة، ثم بعد ذلك يُدفع إلى من يعلمه القرآن الكريم، ثم يبدأ في تعلم مبادئ الفقه الإسلامي، وآداب الشريعة الإسلامية ..ويُهتم جدًا بتدريبه على الصلاة، وكذلك على الأذكار النبوية، ويُراقب المملوك مراقبة شديدة من مؤدبيه ومعلميه، فإذا ارتكب خطأً يمس الآداب الإسلامية نُبه إلى ذلك، ثم عُوقِب..”.

ثم إذا وصل المملوك بعد ذلك إلى سن البلوغ جاء معلمو الفروسية ومدربو القتال فيعلمونهم فنون الحرب والقتال وركوب الخيل والرمي بالسهام والضرب بالسيوف، حتى يصلوا إلى مستويات عالية جدًا في المهارة القتالية، والقوة البدنية، والقدرة على تحمل المشاق والصعاب..

ثم يتدربون بعد ذلك على أمور القيادة والإدارة ووضع الخطط الحربية، وحل المشكلات العسكرية، والتصرف في الأمور الصعبة، فينشأ المملوك وهو متفوق تمامًا في المجال العسكري والإداري، وذلك بالإضافة إلى حمية دينية كبيرة، وغيرة إسلامية واضحة ..وهذا كله ـ بلا شك ـ  كان يثبت أقدام المماليك تمامًا في أرض القتال..

وكل ما سبق يشير إلى دور من أعظم أدوار المربين والآباء والدعاة، وهو الاهتمام الدقيق بالنشء الصغير، فهو عادة ما يكون سهل التشكيل، ليس في عقله أفكار منحرفة، ولا عقائد فاسدة، كما أنه يتمتع بالحمية والقوة والنشاط، وكل ذلك يؤهله لتأدية الواجبات الصعبة والمهام الضخمة على أفضل ما يكون الأداء..

* اهتمام خاص من سيدهم .

وفي كل هذه المراحل من التربية كان السيد الذي اشتراهم يتابع كل هذه الخطوات بدقة، بل أحيانًا كان السلطان الصالح أيوب رحمه الله يطمئن بنفسه على طعامهم وشرابهم وراحتهم، وكان كثيرًا ما يجلس للأكل معهم، ويكثر من التبسط إليهم، وكان المماليك يحبونه حبًا كبيرًا حقيقيًا، ويدينون له بالولاء التام[4]..

وكان المملوك إذا أظهر نبوغًا عسكريًا ودينيًا فإنه يترقى في المناصب من رتبة إلى رتبة، فيصبح قائدًا لغيره من المماليك، ثم إذا نبغ أكثر أُعطِي بعض الإقطاعات في الدولة فيمتلكها، فتدر عليه أرباحًا وفيرة، وقد يُعطى إقطاعات كبيرة، بل قد يصل إلى درجة أمير، وهم أمراء الأقاليم المختلفة، وأمراء الفرق في الجيش وهكذا..

وكان المماليك في الاسم ينتسبون عادة إلى السيد الذي اشتراهم.. فالمماليك الذين اشتراهم الملك الصالح يعرفون بالصالحية، والذين اشتراهم الملك الكامل يعرفون بالكاملية وهكذا[5].

بدأ ظهور المماليك القوي على مسرح العالم الإسلامي في مصر في عصر الملك الصالح نجم الدين أيوب؛ ففي سنة ٦٤٧ هـ/ ١٢٤٩م تواترت الأنباء عن قرب قدوم حملة جديدة تحت راية الصليب ضد مصر بقيادة لويس التاسع ملك فرنسا بهدف احتلال مصر. وبسرعة عاد الملك الصالح نجم الدين أيوب من الشام إلى مصر لكي ينظم وسائل الدفاع.

وفي العشرين من شهر صفر سنة ٦٤٧ هـ/ ٤ يونيو ١٢٤٩م نزل الصليبيون قبالة دمياط، وأمامهم لويس التاسع يخوض المياه الضحلة، وهو يرفع سيفه ودرعه فوق رأسه. وانسحب الأمير فخر الدين بن شيخ الشيوخ قائد المدافعين عن المدينة بسرعة بعد أن ظن أن سلطانه المريض قد مات، وفي أعقابه فرَّ الجنود، وفي أعقاب الجنود والفرسان فرَّ السكان المذعورون، وهكذا سقطت دمياط دون قتال.

* دور هام للمماليك في معركة المنصورة وأسر لويس التاسع .

وفي ليلة النصف من شعبان سنة 647 هـ وفي خضم هذه الأحداث توفي السلطان الصالح نجم الدين أيوب في يوم الاثنين ١٤ من شعبان سنة ٦٤٧ هـ/ ٢٠ نوفمبر ١٢٤٩م، وأخفت زوجته شجرة الدر نبأ وفاته لكي لا تتأثر معنويات الجيش، وأرسلت في استدعاء ابنه توران شاه من إمارته على حدود العراق، واشتدت المقاومة المصرية ضد القوات الصليبية، وبعد عدة تطورات كانت القوات الصليبية تتقدم نحو مدينة المنصورة في سرعة، ولكن الأمير بيبرس البندقداري كان قد نظَّم الدفاع عن المدينة بشكل جيد، وانقشع غبار المعركة عن عدد كبير من قتلى الصليبيين بينهم عدد كبير من النبلاء، ولم ينجح في الهرب سوى عدد قليل من الفرسان هربوا على أقدامهم تجاه النيل ليلقوا حتفهم غرقًا في مياهه، أمّا الجيش الصليبي الرئيسي بقيادة لويس التاسع فكان لا يزال في الطريق دون أن يعلم بما جرى على الطليعة الصليبية التي اقتحمت المنصورة في ٤ من ذي القعدة ٦٤٧ هـ/ فبراير ١٢٥٠م. وفي المحرم من سنة ٦٤٨ هـ/ ١٢٥٠م دارت معركة رهيبة قرب فارسكور قضت على الجيش الصليبي، وتم أسر لويس التاسع نفسه في قرية منية عبد الله شمالي المنصورة، ثم نقل إلى دار ابن لقمان القاضي بالمنصورة؛ حيث بقي سجينًا فترة من الزمان حتى أُفرِجَ عنه لقاء فدية كبيرة، ومقابل الجلاء عن دمياط[6].

* مقتل “توران شاه” وانتهاء حكم الأيوبيين في مصر.

بعد عهد الصالح أيوب، تولَّى ابنه توران شاه الذي لم يكن على قدر المسئولية؛ فانشغل باللهو بعد انتصاره على الصليبيين، وأساء معاملة قادة الجيش من المماليك، وكذلك أساء إلى زوجة أبيه شجرة الدر؛ فتآمرت هذه مع فارس الدين أقطاي وركن الدين بيبرس وقلاوون الصالحي وأيبك التركماني وهم من المماليك الصالحية البحرية على قتل “توران شاه”، وبالفعل تمت الجريمة في يوم 27 محرم سنة 648 هـ، أي بعد سبعين يومًا فقط من قدومه من حصن كيفا واعتلائه عرش مصر..!وكأنه لم يقطع كل هذه المسافات لكي “يحكم”بل لكي “يُدفن”!

وهكذا بمقتل “توران شاه” انتهى حكم الأيوبيين تمامًا في مصر.. وبذلك أغلقت صفحة مهمة من صفحات التاريخ الإسلامي[7].

لقد حدث فراغ سياسي كبير بقتل توران شاه، فليس هناك أيوبي في مصر مؤهل لقيادة الدولة، ومن ناحية أخرى فإن الأيوبيين في الشام مازالوا يطمعون في مصر، وحتمًا سيجهزون أنفسهم للقدوم إليها لضمها إلى الشام.. ولا شك أيضًا أن المماليك كانوا يدركون أن الأيوبيين سيحرصون على الثأر منهم، كما أنهم كانوا يدركون أن قيمتهم في الجيش المصري كبيرة جدًا، وأن القوة الفعلية في مصر ليست لأيوبي أو غيره إنما هي لهم، وأنهم قد ظُلِموا بعد موقعة المنصورة وفارسكور، لأنهم كانوا السبب في الانتصار ومع ذلك هُمِّش دورهم..

كل هذا الخلفيات جعلت المماليك ـ ولأول مرة في تاريخ مصر ـ يفكرون في أن يمسكوا هم بمقاليد الأمور مباشرة!.. وما دام “الحكم لمن غلب”، وهم القادرون على أن يغلبوا، فلماذا لا يكون الحكم لهم؟!..

لكن صعود المماليك مباشرة إلى الحكم سيكون مستهجنًا في مصر، فالناس لا تنسى أن المماليك ـ في الأساس ـ عبيد، يباعون ويشترون، وشرط الحرية من الشروط الأساسية للحاكم المسلم.. وحتى لو أُعتِقوا فإن تقبُّل الناس لهم (كحُكَّام) سيكون صعبًا..وحتى لو كثرت في أيديهم الأموال، وتعددت الكفاءات، وحكموا الأقاليم والإقطاعات، فهم في النهاية مماليك..وصعودهم إلى الحكم يحتاج إلى حُجَّة مقنعة للشعب الذي لم يألفهم في كراسي السلاطين..

كل هذا دفع المماليك البحرية الصالحية إلى أن يرغبوا بعد مقتل توران شاه في “فترة انتقالية”تمهد الطريق لحكم المماليك الأقوياء، وفي ذات الوقت لا تقلب عليهم الدنيا في مصر أو في العالم الإسلامي..

كانت هذه هي حسابات المماليك الصالحية البحرية..

فماذا كانت حسابات شجرة الدر؟!..

* شجرة الدر تحكم .

لقد فكرت شجرة الدر في الصعود إلى كرسي الحكم في مصر!!..

وفي ذات الوقت وجد المماليك البحرية في شجرة الدرّ الفترة الانتقالية التي يريدون..إنها زوجة الملك الصالح أيوب الذي يكنّون له (ويُكنُّ له الشعب كله) كامل الوفاء والاحترام والحب، وهي في نفس الوقت تعتبر من المماليك؛ لأن أصلها جارية وأعتقت، كما أنها في النهاية امرأة، ويستطيع المماليك من خلالها أن يحكموا مصر، وأن يوفروا الأمان لأرواحهم..

وبذلك توافقت رغبات المماليك مع رغبة شجرة الدر..وقرروا جميعًا إعلان شجرة الدرّ حاكمة لمصر بعد مقتل توران شاه بأيام، وذلك في أوائل صفر سنة648  هجرية.[8]

ولكن الجو العام في مصر، وعند أمراء الأيوبيين في الشام، وكذلك الخليفة العباسي المستعصم لم يكن يقبل بولاية امرأة فتزوجت من أحد قادة المماليك وهو “عز الدين أيبك”، ثم أصبح سلطاناً على مصر، وبذلك وصل المماليك إلى حكم مصر خلفاً للأيوبيين.

وتلقب عز الدين أيبك بالملك المعز وأُخِذت له البيعة في مصر..

* المملوك ” عز الدين أيبك ” سلطان .

كان الملك المعز عز الدين أيبك من الذكاء بحيث إنه لم يصطدم بشجرة الدر ولا بزعماء المماليك البحرية في أول أمره.. بل بدأ يقوي من شأنه ويعد عدته تدريجياً، فبدأ يشتري المماليك الخاصة به، ويعد قوى مملوكية عسكرية تدين له هو شخصياً بالولاء، وانتقى من مماليك مصر من يصلح لهذه المهمة، وكوَّن ما يُعرَف في التاريخ بالمماليك المعزية (نسبة إليه: المعز عز الدين أيبك)، ووضع على رأس هذه المجموعة أبرز رجاله وأقوى فرسانه وأعظم أمرائه : سيف الدين قطز رحمه الله..

وكان هذا هو أول ظهور للبطل الإسلامي الشهير: سيف الدين قطز قائد مجموعة المماليك الخاصة بالملك المعز عز الدين أيبك..

ومع أن الملك المعز عز الدين أيبك نفسه من المماليك البحرية إلا أنه بدأ يحدث بينه وبينهم نفور شديد.. أمّا هو فيعلم مدى قوتهم وارتباطهم بكلمة زوجته شجرة الدر التي لا تريد أن تعامله كملك بل كصورة ملك.. وأما هم فلا شك أن عوامل شتى من الغيرة والحسد كانت تغلي في قلوبهم على هذا المملوك صاحب الكفاءات المحدودة في نظرهم الذي يجلس على عرش مصر ويلقب بالملك.. أما هم فيُلَقَّبون بالمماليك.. وشتان..

لكن الملك المعز عز الدين أيبك لم يستنفر مبكراً.. بل ظل هادئاً يعد عدته في هدوء، ويكثر من مماليكه في صمت..

ثم حدث أن تجمعت قوى الأمراء الأيوبيين لغزو مصر لاسترداد حكم الأيوبيين بها.. وكانت الشام خرجت من حكم ملك مصر بعد وفاة توران شاه مباشرة..

والتقى معهم الملك المعز عز الدين أيبك بنفسه في موقعة فاصلة عند منطقة تسمى العباسية (حوالي عشرين كيلومتر شرق الزقازيق الآن) في 10 من ذي القعدة سنة 648 هجرية (بعد أربعة شهور فقط من حكمه) وانتصر الملك المعز عز الدين أيبك، ولا شك أن هذا الانتصار رفع أسهمه عند الشعب.. وثبَّت من أقدامه على العرش..

* الخليفة يعلن “أيبك” ملكا ًعلى مصر .

وفي سنة 651 هجرية (بعد 3 سنوات من حكم أيبك) حدث خلاف جديد بين أمراء الشام والملك المعز عز الدين أيبك، ولكن قبل أن تحدث الحرب تدخَّل الخليفة العباسي المستعصم بالله ـ وهذه نقطة تحسب له ـ للإصلاح بين الطرفين، وكان من جرَّاء هذا الصلح أن دخلت فلسطين بكاملها حتى الجليل شمالاً تحت حكم مصر.. فكانت هذه إضافة لقوة الملك المعز عز الدين أيبك، ثم حدث تطور خطير لصالحه وهو اعتراف الخليفة العباسي بزعامة الملك المعز عز الدين أيبك على مصر، والخليفة العباسي وإن كان ضعيفاً وليست له سلطة فعلية إلا أن اعترافه يعطي للملك المعز صبغة شرعية مهمة..

كل هذه الأحداث مكَّنت الملك المعز عز الدين أيبك من التحكم في مقاليد الأمور في مصر.. ومن ثَمَّ زاد نفور زعماء المماليك البحرية منه، وبالذات فارس الدين أقطاي الذي كان يبادله كراهية معلنة، لا يخفيها بل يتعمد إبرازها.. هذه المعاملة من أقطاي، وإحساس أيبك من داخله أن المماليك البحرية – وقد يكون الشعب – ينظرون إليه على أنه مجرد زوج للملكة المتحكمة في الدولة.. جعله يفكر جدياً في التخلص من أقطاي ليضمن الأمان لنفسه وليثبت قوته للجميع.. وهكذا لا يحب الملوك عادة أن يبرز إلى جوارهم زعيم يعتقد الشعب في قوته أو حكمته..

* تزايد الصراعات ومقتل أقطاي .

انتظر أيبك الفرصة المناسبة، إلى أن علم أن أقطاي يتجهز للزواج من إحدى الأميرات الأيوبيات، فعلم أن أقطاي يحاول أن يضفي على نفسه صورة جميلة أمام الشعب، وأن يجعل له انتماءً واضحاً للأسرة الأيوبية التي حكمت مصر قرابة الثمانين سنة، وإذا كانت شجرة الدر حكمت مصر لكونها زوجة الصالح أيوب، فلماذا لا يحكم أقطاي لكونه زوجاً لأميرة أيوبية فضلاً عن قوته وبأسه..

هنا شعر الملك المعز عز الدين أيبك بالخطر الشديد، وأن هذه بوادر انقلاب عليه، والانقلاب عادة يكون بالسيف، فاعتبر أن ما فعله أقطاي سابقاً وما يفعله الآن هي مؤامرة لتنحية أيبك عن الحكم، ومن ثم أصدر أوامره بقتل زعيم المماليك البحرية فارس الدين أقطاي..

وبالفعل تم قتل فارس الدين أقطاي بأوامر الملك المعز، وبتنفيذ المماليك المعزية الذين كانوا يقودهم كبير قواد الملك المعز، وتم ذلك في 3 شعبان سنة 652 هجرية..

وبقتل فارس الدين أقطاي خلت الساحة لعز الدين أيبك، وبدأ يظهر قوته ويبرز كلمته، وبدأ دور الزوجة شجرة الدر يقل ويضمحلّ، فقد اكتسب الملك المعز الخبرة اللازمة وزادت قوة مماليكه المعزية، واستقرت الأوضاع في بلده فرضي عنه شعبه، واعترف له الخليفة العباسي بالسيادة، ورضي منه أمراء الشام الأيوبيون بالصلح..

وبقتل فارس الدين أقطاي انقسم المماليك إلى جزئيين كبيرين: المماليك البحرية الذين يدينون بالولاء لشجرة الدر، والمماليك المعزية الذين يدينون بالولاء للملك المعز عز الدين أيبك..

وهنا قرر زعماء المماليك البحرية الهروب إلى الشام خوفاً من الملك المعز عز الدين أيبك، وكان على رأس الهاربين ركن الدين بيبرس، الذي ذهب إلى الناصر يوسف، هذا الخائن الذي كان يحكم حلب ثم دمشق ودخل في طاعته..

وهكذا صفا الجو في مصر تماماً للملك المعز عز الدين أيبك، وتوسط الخليفة العباسي من جديد ليضمن استقرار الأوضاع، فاتفقوا على أن يعيش المماليك البحرية في فلسطين، ويبقى الملك المعز في مصر، إلا أن ركن الدين بيبرس آثر أن يبقى في دمشق عند الناصر يوسف الأيوبي..

* مقتل أيبك وتنصيب ابنه المنصور.

وما كان للأوضاع أن تستقر على هذه الحال؛ فشجرة الدر التي شُغِفَت بالحُكم، وخاب ظنها في ضعف المعز أيبك الذي ظهرت قوته، وأخذ يقلِّل من دورها حتى قضى عليه، هذه المرأة قررت التخلص من زوجها أيبك؛ فدبرت له مكيدةً، وقتلته بمساعدة مماليكها؛ فما كان من المماليك المعزية إلا أن قتلوها قصاصًا لأستاذهم.

وقعت البلاد في أزمة؛ فاجتمع أمراء المماليك، ونصَّبوا نور الدين علي بن أيبك من زوجته الأولى، وبُويع له، ولم يكن قد بلغ الخامسة عشرة من عمره، وهذه مخالفة كبيرة ولا شك، ولكن لعله قد وضع في هذا التوقيت لكي يوقف النزاع المتوقع بين زعماء المماليك على الحكم.. وتلقَّب السلطان الصغير بلقب “المنصور”، وتولى الوصاية الكاملة عليه أقوى الرجال في مصر وهو سيف الدين قطز قائد الجيش وزعيم المماليك المعزية، وأكثر الناس ولاءً للملك السابق المعز عز الدين أيبك..

وكانت هذه البيعة لهذا السلطان الطفل في ربيع الأول من سنة 655 هجرية.. وأصبح الحاكم الفعلي لمصر هو سيف الدين قطز رحمه الله.

  • دولتا المماليك

وينبغي القول بأن للدولة المملوكية عصرين:

العصر الأول: المماليك البحرية 648 ـ 792 هـ

العصر الثاني: المماليك الجراكسة أو البرجية 792 ـ 923 هـ

عصر المماليك البحرية (648 ـ 792 هـ):

المماليك البحرية: هم مماليك السلطان الصالح نجم الدين أيوب الذين كثر عددهم، وزادت تعدياتهم فضج منهم السكان فبنى لهم قلعة في جزيرة الروضة عام 638 هـ فعُرِفُوا بالمماليك البحرية.

حكم هؤلاء المماليك البحرية مصر مدة أربع وأربعين ومائة سنة (648 ـ 792 هـ)، بدأت بحكم عز الدين أيبك. وقد تمثل هذا الحكم في أسرتين فقط، وهما أسرة الظاهر بيبرس البندقداري، وقد دام حكمها مدة عشرين سنة (658 ـ 678 هـ).

أمّا الأسرة الثانية فهي أسرة المنصور قلاوون، وقد استمر أمرها أربع عشرة ومائة سنة (678 ـ 792 هـ) وحكم هو وأولاده وأحفاده، لم يتخللها سوى خمس سنوات خرج أمر مصر من أيديهم، إذ تسلم العادل كتبغا والمنصور لاجين والمظفر بيبرس الجاشنكير وقد قُتِلَ ثلاثتهم، حكم الأوليان منهم مدة أربع سنوات (694 ـ 698 هـ) وحكم الثالث ما يقرب من سنة (708 ـ 709 هـ)[9].

عصر المماليك الجراكسة أو البرجية (792 ـ 923هـ):

موطن الجراكسة هو الأرض المشرفة على البحر الأسود من جهة الشمال الشرقي، وتشكل أرضهم الجزء الشمالي الغربي من بلاد القفقاس الممتدة بين بحري الأسود والخزر والتي كانت تعرف يومذاك باسم بلاد القفجاق، وغدت تلك الجهات آنذاك مسرحًا للصراع بين مغول فارس أو الدولة الإيلخانية، ومغول القفجاق أو الأسرة الذهبية، وهذا الصراع جعل أعدادًا من أبناء الجراكسة تدخل سوق النخاسة، وتنتقل إلى مصر فاشترى السلطان المنصور قلاوون أعدادًا منهم ليتخلص من صراع المماليك البحرية، وليضمن الحفاظ على السلطنة له ولأبنائه من بعده، وقد أطلق على هؤلاء المماليك الجدد المماليك الجراكسة نسبة إلى أصولهم التي ينتمون إليها، كما أطلق عليهم اسم المماليك البرجية نسبة إلى القلعة التي وضعوا فيها[10].

لقد حكم المماليك الجراكسة مصر والشام والحجاز مدة تزيد على إحدى وثلاثين ومائة سنة (792 ـ 923 هـ) وتعاقب في هذه المدة أكثر من سبعة وعشرين سلطانًا، لم تزد مدة الحكم على خمسة عشر عامًا، إلا لأربعة منهم وهم: الأشرف قايتباي، وقد حكم 29 سنة (872 ـ 901 هـ)، والأشرف قانصوه الغوري وقد حكم 17 سنة (906 ـ 922 هـ)، والأشرف برسباي وحكم 16 سنة (825 ـ 841 هـ)، والظاهر جقمق وحكم 15 سنة (842 ـ 857 هـ).

وهناك ست سلاطين حكموا عدة سنوات أو أكثر من سنة وهم: الظاهر برقوق وحكم تسع سنوات (792 ـ 801 هـ) وهي المرة الثانية بعد خلع المنصور حاجي، وابنه الناصر فرج وقد حكم مرتين في كل مرة سبع سنوات (801 ـ 808 هـ) (808 ـ 815 هـ) والمؤيد وحكم تسع سنوات (815 ـ 824 هـ) والأشرف إينال وحكم سبع سنوات (857 ـ 865 هـ) والظاهر خشقدم وحكم سبع سنوات أيضًا (865 ـ 872 هـ).

أما السلاطين الخمسة عشرة الباقون فكانت مدة حكم الواحد أقل من سنة بل إن بعضهم لم تزد مدة حكمه على الليلة الواحدة إذ أن خير بك قد تسلم السلطنة مساءً وخُلِعَ صباحًا وذلك عام 872 هـ[11].

  • الظاهر بيبرس

الظاهر بيبرس:

اتصف بيبرس بالحزم ، والبأس الشديد، وعلو الهمة، وبعد النظر، وحسن التدبير، واجتمعت فيه صفات العدل والفروسية والإقدام، فلم يكد يستقر في الحكم حتى اتخذ عدة إجراءات تهدف إلى تثبيت أقدامه في الحكم منها:

التقرب من الخاصة والعامة؛ بتخفيف الضرائب عن السكان، كما عفا عن السجناء السياسيين، وأفرج عنهم، كما عمل على الانفتاح على العالم الإسلامي لكسب ود زعمائه[12].

وقام كذلك بالقضاء على الحركات المناهضة لحكمه، وأعاد الأمن والسكينة إلى البلاد[13]. وبالإضافة إلى ذلك أعاد إحياء الخلافة العباسية.

وعندما توطدت دعائم سلطة المماليك، وقويت شوكتهم، نتيجة الإجراءات التي اتخذها “بيبرس”، رأى هذا السلطان ضرورة متابعة سياسة صلاح الدين الأيوبي وخلفائه في طرد الصليبيين، وإجلائهم عن البلاد الإسلامية، ولم يكن ذلك بالأمر السهل، فقد كان لزامًا عليه أن يجابه ما تبقى من الإمارات الصليبية وهي أنطاكية، وطرابلس، والجزء الباقي من مملكة بيت المقدس، وحتى يحقق هدفه اتبع إستراتيجية عسكرية قائمة على ضرب هذه الإمارات الواحدة تلو الأخرى، ولم تنقضِ سنة من السنوات العشر الواقعة بين عامي ( 659 ـ 669 هـ / 1261 م ـ 1271 م ) دون أن يوجه إليهم حملة صغيرة أو كبيرة، وكان ينتصر عليهم في كل مرة[14].

تُتَّهم الدولة المملوكية كثيرًا بالضعف الحضاري، والهزال العلمي الفكري، ولكن التاريخ الصحيح يُكذِّب ذلك؛ فقد كان لفنون الحضارة مكان عزيز عند المماليك؛ فمن ذلك جهودهم التي قاموا بها في المجالات التالية:

تطوير الجهاز الإداري:

حرص سلاطين المماليك على تطوير الجهازين الإداري والعسكري، فاستحدث الظاهر بيبرس بعض الوظائف الإدارية لأن الوظائف التي عرفها المماليك وأخذوها عن الأيوبيين أصبحت لا تفي بحاجة الدولة الآخذة في التطور والتوسع فأنشأ وظائف جديدة لم تكن معروفة في مصر من قبل يشغلها أمراء يعينهم السلطان من بين الأشخاص الذين يثق بهم.

تعديل نظام القضاء:

كان يتولى منصب القضاء في عهد الأيوبيين في القاهرة وسائر أعمال الديار المصرية، قاض واحد على المذهب الشافعي وله حق تعيين نواب عنه في الأقاليم، وأحياناً كان يعين قاض للقاهرة والوجه البحري. وظل الوضع على ذلك حتى عام(660هـ/1262م). وما زال السلطان يطور النظام القضائي حتى ثبته وجعله مبدأ رسميًا في (شهر ذي الحجة عام 663هـ/ شهر تشرين الأول عام 1265م)، فعين أربعة قضاة يمثلون المذاهب الأربعة وسمح لهم أن يعينوا نواباً عنهم في الديار المصرية. فكان القاضي ابن بنت الأعز يمثل المذهب الشافعي، والقاضي صدر الدين سليمان يمثل المذهب الحنفي، والقاضي شرف الدين عمر السبكي يمثل المذهب المالكي، والقاضي شمس الدين القدسي يمثل قضاء الحنابلة، وفعل مثل ذلك في دمشق.

وسن بيبرس عدة تشريعات لتهذيب أخلاق المصريين لعل أهمها الأمر الذي أصدره في عام (664هـ/1266م) ومنع بموجبه بيع الخمور، وأقفل الحانات في مصر وبلاد الشام، ونفى كثيراً من المفسدين[15].

المنشآت العمرانية:

من أهم منشآته العمرانية:

–                   جدد بناء الحرم النبوي.

–                   جدد بناء قبة الصخرة في القدس، بعد أن تداعت أركانها.

–                   أعاد الضياع الخاصة بوقف الخليل في فلسطين، بعد أن دخلت في الإقطاع، ووقف عليه قرية اسمها بإذنا.

–        بنى المدرسة الظاهرية بين القصرين، وعين فيها كبار الأساتذة كان من بينهم مدرس الحنفية الصاحب مجد الدين بن العديم، ومدرس الشافعية الشيخ تقي الدين بن رزين، وولى الحافظ شرف الدين عبد المؤمن الدمياطي مشيخة الحديث، والشيخ كمال الدين الحلبي مشيخة القرَّاء.

–                   بنى مسجده المعروف باسمه في ميدان الأزهر في القاهرة.

–                   بنى مشهد النصر في عين جالوت تخليدًا لذكرى الانتصار على المغول.

–                   جدد أسوار الإسكندرية

ـ أعاد بناء القلاع التي هدمها المغول في بلاد الشام مثل قلعة دمشق، قلعة الصلت، قلعة عجلون وغيرها[16].

المنصور قلاوون:

وتولى الحكم سلطان مملوكي قوي آخر هو السلطان المنصور قلاوون الذي اعتلى عرش السلطنة في مصر سنة ٦٧٨ هـ/ ١٢٧٩م، وبعد أن وطَّد دعائم حكمه بدأ في مواصلة جهود بيبرس ضد الصليبيين. وكانت بقايا الوجود الصليبي تتمثل في إمارة طرابلس، وبقايا مملكة بيت المقدس اللاتينية التي اتخذت من عكا عاصمة لها، كما كان حصن المرقب بأيدي الفرسان الاسبتارية، طرطوس بأيدي فرسان الداوية. وفي سنة ٦٨٤ هـ/ ١٢٨٥ م شن الجيش المصري هجومًا ناجحًا على حصن المرقب، وانتزعه من فرسان الاسبتارية. وكانت كل الشواهد تدل على أن نهاية الوجود الصليبي في المنطقة العربية قد اقتربت. وفي سنة ٦٨٦ هـ/١٢٨٧ م أرسل السلطان المنصور قلاوون جيشًا استولى على اللاذقية، آخر ما تبقى من إمارة إنطاكية الصليبية التي حررها بيبرس.

وبعد ذلك بسنتين خرج السلطان بنفسه على رأس جيش ضخم فرض حصارًا على طرابلس لمدة شهرين واستولى عليها في أبريل سنة ١٢٨٩م، ثم تلتها بيروت وجبلة، وانحصر الصليبيون في عكا وصيدا وعثليت[17].

* تصفية الصليبيين

كان لابد من تصفية الوجود الصليبي في المشرق الإسلامي بعد أن استمرَّ ما يقرب من مائتي عامٍ، وبعد أن وهنت قوته بفعل المقاومة الإسلامية، وجهود الحكام المسلمين المجاهدين، وبالفعل تم تصفية الوجود الصليبي في بلاد الشام في عهد الأشرف صلاح الدين خليل بن قلاون (689-693هـ/1290-1293م)؛ حيث كانت بعض أملاك للصليبين في الشام لا تزال قائمةً، منها على سبيل المثال: (عكا) التي اتجه إليها المنصور بن قلاون وضرب عليها الحصار، واستطاع فتحها في السابع عشر من جُمادَى الأولى عام 690هـ/ شهر أيار عام 1291م، وكان هذا بمثابة الضربة القاضية التي نزلت بالصليبين في بلاد الشام، إذ لم تقم لهم بعد ذلك قائمة.

* الحملة على صور

أرسل السلطان جيشًا إلى (صُور) بقيادة الأمير سنجر، الذي استطاع أن يدخلها في شهر رجب من سنة دخول (عكا)، ثم ظهر جيش مملوكي بقيادة الأمير الشجاعي أمام (صيدا) الذي استطاع أن يدخلها في 15من رجب، ثم بعد ذلك فتح (بيروت)، وما لبث السلطان أن فتح (حيفا)، ولم يبقَ إلا موضعان: أنطروس وعثليث، ولكن حامية كلٍّ منهما لم تكن قادرة على الصمود، فجاءت حامية أنطروس في (5 من شعبان – 3 آب)، ومن عثليث في (16 من شعبان-14 من آب)، ولم يعد بحوزة الداوية سوى الحصن الواقع في جزيرة أرواد، فظلُّوا محافظين على موقعهم هذا طيلة اثني عشر عامًا، ولم يغادروا الجزيرة إلا في عام (703هـ – 1303م).

وظلَّت الجيوش المملوكية بعد طرد الصليبين، تجوب الساحل من أقصاه إلى أقصاه بضعة أشهر في خطوة وقائية، تدمر فيها كلَّ ما تعتبره صالحًا لنزول الصليبين إلى البر مرة أخرى والتحصن فيه من جديد[18].

الحياة العلمية في العصر المملوكي:

لقد ظهر في العصر المملوكي كثير من المنشآت الدينية من مساجد وتكايا ومدارس وأربطة وحلقات العلم، تقوم على تدريس العلوم الدينية، وتقديم الخدمات لطلبة العلم، هذا بالإضافة إلى الكتب الدينية التي صدرت آنذاك.

وزخر العصر المملوكي بعدد كبير من مشاهير العلماء الذين أثروا الحركة العلمية نذكر منهم على سبيل المثال لا الحصر: الإمام النووي، والعز بن عبد السلام، وابن تيمية، وابن قيم الجوزية، والمزي، وابن حجر العسقلاني، والذهبي، وابن جماعة، وابن كثير،  والمقريزي، وابن تغري بردي، والقلقشندي، وابن قدامة المقدسي، والمزي الفلكي المتوفى عام 750 هـ [19] .

العمارة والفنون:

يعتبر عصر السلطان الناصر محمد بن قلاوون (698 ـ 708 هـ/1299ـ 1308 م)

من أزهى عصور الدولة المملوكية فقد أكثر من العمائر ومن أهم منشأته في مدينة القاهرة الميدان العظيم، والقصر الأبلق بالقلعة، والإيوان ومسجد القلعة، والميدان الناصري، وبستان باب اللوق، وقناطر السباع.

ومن بين الأعمال العظيمة التي أنجزت في عصر الناصر محمد حفر قناة من الإسكندرية إلى فوة، وبذلك أعاد وصل الإسكندرية بالنيل.

وبلغ اهتمام الناصر بالعمارة أن أفرد لها ديوانًا، وبلغ مصروفها كل يوم اثني عشر ألف درهم[20].

وكان السلطان قايتباي (873 ـ 902 هـ / 1468 ـ 1496 م) محبًا للعمارة فقد بنى ورمم كثيرًا من المساجد والقلاع والحصون والمدارس والزوايا، ولا يضارع عصره في المباني وفرة وجمالاً سوى عصر الناصر محمد بن قلاوون.

أمّا مدينة الإسكندرية فقد حظيت بعناية السلطان قايتباي فقد أنشأ بها قلعة أطلق عليها اسم البرج، وتعتبر أكبر آثاره الحربية.

أما الفنون في عصر المماليك فنجد أنها وصلت حدَّ الروعة والاتقان والرقي، ويشهد على ازدهار فن النحت على الخشب في العصر المملوكي، أن الفنانين استطاعوا أن يبدعوا في زخرفة الحشوات بالرسوم الدقيقة.

كذلك ازدهرت في عصر المماليك صناعة الشبكيات من الخشب المخروط، المعروفة باسم المشربيات[21].

العلاقات الخارجية في العصر المملوكي

وإذا أردنا أن نقف وقفةً مع العلاقات الخارجية في العصر المملوكي؛ فيمكننا أن ندرس:

العلاقة مع الحفصيين في تونس:

لقد ربطت سلطنة المماليك البحرية في مصر ودولة الحفصيين في تونس علاقات ودية بفعل أربعة عوامل:

1ـ عامل الدين الإسلامي.

2ـ عامل الجوار.

3 ـ عامل الخطر المشترك الذي هدد العالم الإسلامي آنذاك.

4 ـ عامل الحج على اعتبار أن مصر واقعة على الطريق البري للحجاج القادمين من شمالي أفريقيا.

لكن شاب هذه العلاقات بعض الفتور بسبب مشكلة الخلافة؛ ذلك أن ملوك بني حفص تلقبوا بلقب الخلفاء، فلم يعترف المماليك بإمرة المؤمنين في السلالة الحفصية، وإنما لقبوهم بـ “أمير المسلمين” وهو لقب دون أمير المؤمنين في الرتبة.

ويبدو أن مشكلة الخلافة لم تقف حائلاً بين الدولتين في التعاون لرد الاعتداءات الخارجية[22].

العلاقة مع مغول القبجاق:

لم يلبث الدين الإسلامي أن انتشر بين المغول خاصة بعد اعتناق بركة خان ابن جوجي بن جنكيز خان هذا الدين، الأمر الذي ترتب عليه نتيجتان:

الأولى: ازدياد التقارب بين مغول القبجاق والقوى الإسلامية في المشرق خاصة دولة المماليك البحرية الناشئة.

الثانية: ازدياد العداء بين مغول القبجاق وبقية طوائف المغول الوثنيين، خاصة مغول فارس.

وسعى بيبرس إلى الاستفادة من هذا الوضع الناشىء بالتحالف مع بركة خان زعيم القبيلة الذهبية، وكان من الطبيعي أن يلاقي تجاوبًا من الزعيم المغولي المسلم، إذ إن اعتناق هؤلاء المغول الديانة الإسلامية جعلت التحالف بين الطرفين ضرورة سياسية لمواجهة العدو المشترك المتمثل بهولاكو وأسرته.

فما أن علم بيبرس باعتناق بركة خان للدين الإسلامي حتى كتب إليه يغريه بقتال هولاكو ويرغبه في ذلك.

وبالفعل اتفق بركة خان وبيبرس على محاربة هولاكو، وكتب بركة خان برسالة إلى بيبرس يقول له فيها: ” فليعلم السلطان أنني حاربت هولاكو الذي من لحمي ودمي؛ لإعلاء كلمة الله العليا تعصبًا لدين الإسلام…”[23].

علاقة المماليك ببعض القوى الأوروبية:

لقد اجتذبت موانىء مصر المدن التجارية الإيطالية، البندقية وجنوة وبيزا، بفضل التكاليف الزهيدة للبضائع القادمة من الشرق الأقصى عبر هذا البلد بالإضافة إلى ميزة الحصول على حاصلات الأراضي المصرية ومنتجاتها الصناعية، وكانت هناك من جهة أخرى أرباح كبيرة تتحقق بتوريد بعض السلع الأوروبية التي كانت مصر بحاجة إليها مثل الحديد والخشب، لكن توثيق العلاقات السلمية مع مصر لم يكن بالسهولة التي تبدو لأول وهلة بسبب عداوة مصر للصليبيين في بلاد الشام. وكانت المدن الإيطالية خاصة تسأل قبل أن ترتبط بعلاقات تجارية مع مصر: هل تسيء بذلك إلى بقية العالم المسيحي؟ لأن تجار مصر سوف يستفيدون حتماً من جرَّاء المبادلات التجارية، كما تنتفع خزائن السلطان من حصيلة الرسوم الجمركية، ويترتب على ذلك تنامي قوة هذا البلد، مما يشكل ازدياداً في الخطر على المدن الصليبية في بلاد الشام.

وكان التاجر الغربي الذي يتاجر مع مصر يُوصَف بأنه مسيحي فاجر، في حين تعرَّض حكام المماليك الذين يتعاونون مع التجار الغربيين للانتقاد من قبل بعض المتعصبين، وبالرغم من أن العقبات على التجارة بين مصر والمدن الإيطالية تأتي من الطرفين، إلا أنها استمرت ناشطة أحيانًا وسط الأجواء العاصفة، وكان الأمل عند الطرفين في الحصول على أرباح ومنافع جسيمة يبدد الكثير من المخاوف.

وإذا كانت العلاقات بين المدن الإيطالية التجارية وبين المماليك تأرجحت بين المشاحنات والهدوء وفقًا لتقلب الظروف السياسية، فإن الوضع اختلف مع الإمارات المسيحية في أوروبا الغربية مثل قشتالة وأرغونة وإشبيلية.

ويبدو أن حرص الإمارات المسيحية في أسبانيا على عدم وصول نجدات من دولة المماليك إلى المسلمين في أسبانيا دفع ملوكها إلى مسالمة المماليك، وتبادل الهدايا مع الأمراء في مصر.

وإذا كانت التجارة مع مصر مباحة بوجه عام لرعايا ملك أرغون فإنه كان محظورًا عليهم أن يبيعوا المسلمين مواد بناء السفن أو سفنًا مبنية، وفي عام 673 هـ / 1274 م أصدر جيمس الأول ملك أرغون مرسوماً يحظر فيه تصدير المعادن والخشب والأسلحة والمواد الغذائية إلى مصر.

كما ارتبطت صقلية بعلاقات طيبة مع حكام مصر منذ العهد الأيوبي، وقد تمتع الصقليون في مصر بتخفيض في التعريفات، واستمرت هذه العلاقة الطيبة في عهد دولة المماليك البحرية، إذ حرص مانفرد بن فريدريك الثاني على صداقة السلطان بيبرس، كما حرص هذا الأخير على الاحتفاظ بعلاقة الود التي ربطت مصر بمملكة صقلية، وقد جمعت الطرفين مصلحة مشتركة وهي العداء للصليبيين في بلاد الشام ومغول فارس.

وتشير المراجع إلى تبادل الهدايا بين مانفرد وبيبرس، فأرسل هذا الأخير في عام 660 هـ / 1261 م ، وفداً برئاسة المؤرخ جمال الدين بن واصل إلى ملك صقلية، وحمله هدية جليلة منها بعض الزرافات، وبعض أسرى عين جالوت من المغول، وقد رد مانفرد بسفارة مشابهة تحمل الهدايا للسلطان[24].

*العلاقة بالبرتغال والكشوف الجغرافية

ارتبط تاريخ البرتغال التجاري منذ أوائل القرن السادس عشر الميلادي بالكشوف الجغرافية، والواقع أن حركة الكشوف هذه التي تم قسم كبير منها في القرن الخامس عشر الميلادي كانت أهم نتيجة عملية للنهضة الأوروبية، فقد استطاع الملاحون الأوروبيون أن يحققوا أعظم نصر في هذا المجال في أواخر ذلك القرن تمثل في حادثين:

الأول: كشف الأمريكتين ابتداءً من عام (898 هـ / 1492 م).

الثاني: كشف الطريق البحري من أوروبا إلى الهند بالالتفاف حول أفريقيا عن طريق رأس الرجاء الصالح في عام (904 هـ / 1498 م).

وكان لهذين الحادثين أثر عميق في تاريخ العالم ومستقبل البشرية[25].

والواقع أنه تضافرت عدة عوامل أدت إلى الكشف الجغرافي الثاني المرتبط مباشرة بموضوعنا، والذي كان رائده فاسكو دي جاما لعلَّ أهمها:

1 ـ التخلص من الرسوم الجمركية الفادحة التي كانت تفرضها السلطات المملوكية في مصر وبلاد الشام على السلع الشرقية عند مرورها في أراضي هذين البلدين.

2 ـ الرغبة في ضرب الاحتكار الذي كان يمارسه تجار البندقية في نقل السلع الشرقية من موانىء مصر وبلاد الشام إلى أوروبا كوسيلة لحرمان هذه الجمهورية من مصادر ثرائها.

3 ـ تطلع التجار من رعايا دول أخرى غير البندقية إلى النزول إلى ميدان التجارة الشرقية، والحصول لأنفسهم على شطر من أرباحها الوفيرة.

4 ـ ضرب المسلمين حيث أدى العامل الديني دورًا بارزًا في تخطيط سياسة البرتغاليين، بهدف تحويل المسلمين في غربي أفريقيا وفي غيرها من المناطق الآهلة إلى المسيحية.

5 ـ سيطرت على الأوروبيين في عصر النهضة رغبة قوية في زيادة معلوماتهم الجغرافية[26].

وبوصول البرتغاليين إلى الهند عن طريق رأس الرجاء الصالح أنشأوا لهم مراكز تجارية مسلحة على سواحل البلاد الواقعة على هذا الطريق، وعملوا على بسط سيطرتهم العسكرية والتجارية على هذه المناطق ابتغاء احتكار تجارة الشرق، ونقلها إلى أوروبا عبر الطريق الجديد.

وقد أحدث نبأ هذا الاكتشاف الجغرافي المهم انفعالاً قويًا في الدوائر الحاكمة في كل من مصر وجمهورية البندقية؛ ذلك لأن كل ما يصيب تجارة الشرق الأدنى من ضرر يزعزع أسس قوتهما وثروتهما.

وتابع البرتغاليون نشاطهم التجاري في الهند لتحقيق هدفين ينتهيان إلى غاية واحدة:

الأول: توسيع مجال تجارتهم بفتح أسواق جديدة.

الثاني: القضاء على تجارة المماليك بتدمير بحريتهم التجارية.

وبالفعل لم يعد أحدٌ يحصي السفن المملوكية التي أغارت عليها أساطيلهم وأغرقتها أو أحرقتها بعد أن نهبت أو دمرت شحنتها وقتلت ركابها وبحارته[27].

والواقع أن اتساع نشاط البرتغاليين التجاري في الهند وسيطرتهم على مصادر تجارة التوابل والسلع الشرقية؛ أدَّى إلى حجب وصول هذه السلع بكميات كبيرة إلى مصر وبلاد الشام؛ فبدأت الدولة المملوكية تعاني أزمة اقتصادية عنيفة.

* التصادم بين المماليك والبرتغاليين

وكان السلطان المملوكي قانصوه الغوري يدرك تمامًا أن ازدياد نفوذ البرتغاليين في الهند قد يقضي على مصالحه التجارية وهيبته أمام العالم، وقد تأكد له هذا بصورة عملية عندما أرسل في عام (910 هـ / 1504م) أسطولاً تجاريًا إلى ساحل مالابار شحن كالمعتاد كميات ضخمة من التوابل والسلع الهندية، وأثناء عودة السفن حملت معها عددًا كبيرًا من أمراء الهنود، وعددًا من المسلمين في طريقهم إلى الحج، لكن هذه السفن لم تصل كاملة إلى ميناء جدة؛ إذ هاجمتها سفن الأسطول البرتغالي في مياه الهند، وصادرت معظم شحناتها من التوابل والسلع الهندية.

أثارت هذه الأنباء ثائرة السلطان الغوري، فقرر إرسال أسطول حربي إلى مياه الهند مؤلفًا من خمسين سفينة وعين عليه الأمير حسين كردي.

تجمع الأسطول المملوكي في ميناء جدة، ثم انطلق في عام (913 هـ / 1507 م) إلى سورات في مقاطعة جوجيرات، وكان أمراؤها حلفاء للمماليك، وفاجأ الأسطول البرتغالي بقيادة لورنزو دالميدا أو ألميدا الصغير وأوقع به الهزيمة عند شول إلى الجنوب من بومباي في العام التالي، وقتل القائد البرتغالي في المعركة[28].

تطلبت هذه الهزيمة التي لحقت بالبرتغاليين انتقامًا، اضطلع به ألميدا الكبير، في شهر ذي القعدة عام 914 هـ / شهر شباط عام 1509م، ودُمِّرت معظم وحدات الأسطولين المملوكي والهندي، وانسحب الأمير حسين كردي بعد ذلك إلى جَدَّة[29].

فجهَّز السلطان قانصوه الغوري أسطولاً آخر لمواجهة البرتغاليين وعهد بقيادته إلى الأمير حسين كردي، وانضم إليه عدد من الأتراك والمغاربة.

وعندما تحرك الأسطول المملوكي نحو شواطىء الهند في شهر رمضان عام 921 هـ / شهر تشرين الأول عام 1515م رفض سلطان الطاهريين عامر الثاني بن عبد الوهاب تقديم الموانىء والقوى البشرية والتموين للأسطول منتهكًا بذلك كل التزامات التحالف مع المماليك، وقد أدت خيانة السلطان الطاهري إلى إرباك مخططات المماليك؛ فتأجلت الحملة على الهند وظل الأسطول المملوكي راسيًا عند شواطىء جزيرة قمران مدة ثمانية أشهر منهمكًا في بناء التحصينات الدفاعية.

وقد حصلت هذه الأحداث في الوقت الذي قُتِلَ فيه السلطان الغوري في موقعة مرج دابق أي في نهاية عصر الدولة المملوكية[30].

* العلاقات المملوكية العثمانية

تُعتَبَر العلاقات المملوكية العثمانية هي مفتاح النهاية في تاريخ الدولة المملوكية؛ إذ سقطت دولة المماليك على أيدي العثمانيين نهائيًّا عام 1517م، ولكن سبق ذلك طريق طويل من العلاقات تراوحت بين المودة والتقدير، وبين القلق، ثم الصراع الدامي؛ فقد تجددت علاقات الصداقة بين السلطنتين المملوكية والعثمانية بعد زوال الخطر التيموري، وازدادت تماسكًا في عهد السلطان الأشرف برسباي[31].

وازدادت أواصر الصداقة بين الدولتين في عهد السلطان جقمق، فتبودلت المراسلات والسفارات والهدايا بين الدولتين، وأرسل السلطان العثماني مراد الثاني إلى السلطان المملوكي هدية تضم خمسين أسيرًا من الأوروبيين وخمسة من الجواري ومكية كبير من الحرير[32].

واستمرت هذه السياسة الودية قائمة في عهد السلطان إينال، فبعد أن أتم السلطان العثماني محمد الفاتح فتح القسطنطينية أرسل إلى السلطان المملوكي رسالة يبشره بانتصاره الكبير، فأرسل إليه إينال رسالة تهنئة، واحتفل في القاهرة بهذا الحدث الجلل احتفالاً رائعًا[33].

·                   تردي العلاقات بين المماليك والعثمانيين 888-896هـ / 1483- 1491م.

طُويَت صفحة العلاقات الجيدة بين الدولتين المملوكية والعثمانية على أثر فتح القسطنطينية، وفتحت صفحة جديدة سادها العداء بفعل تصادم المصالح.

فقد توسعت الدولة العثمانية في الأناضول والجزيرة الفراتية شمالاً حتى البحر المتوسط جنوبًا، وجبال طوروس، وفي نفس الوقت كانت دولة المماليك قد سيطرت على قيليقيا.

ومع حرص العثمانيين على استمرار تعزيز الروابط مع المماليك، إلا أن هؤلاء بدأوا يقابلون بشيء من الفتور تنامي العلاقات بين الدولتين بعد ما شعروا بتعاظم شعبية العثمانيين بين المسلمين نتيجة فتح القسطنطينية، كما لاحظوا، بقلق شديد، بروز دولة إسلامية قوية أخذت تنمو على حدودهم، وتشق طريقها الخاص بها، وتزايد قلقهم عندما نشطت في العاصمة العثمانية المساعي لتغيير نظام العلاقات بين الدولتين بعد أن أخذ البكوات، حماة الحدود، يتلقبون بألقاب السلاطين، ويذكر ابن إياس أن محمدًا الثاني كان أول زعيم في بني عثمان اتخذ لنفسه لقب سلطان وساوى نفسه بحكام مصر.

كان اتخاذ الألقاب السلطانية يرمز إلى تحول العثمانيين إلى سياسة الدولة العظمى، وأن المقصود بذلك تأكيد الدول العالمي للسلطنة العثمانية، وقد أدت هذه السياسة إلى تدهور حاد في العلاقات المملوكية العثمانية، وبدأ المماليك يتوجسون خيفة من العثمانيين، فتبدلت نظرتهم إليهم من مشاعر الاعتزاز إلى مشاعر الغيرة، ثم أضحى الصراع على الهيمنة على زعامة العالم الإسلامي السبب الأساسي والرئيسي للنزاع المملوكي- العثماني.

* تزايد الصراع و “جم” يلجأ للمماليك

بعد وفاة السلطان محمد الفاتح في عام 886هـ/ 1481م، بدأ النزاع الداخلي على العرش بين الأخوين بايزيد الثاني وجم.

ولم يتمكن جم من الصمود في وجه أخيه، فلجأ إلى دولة المماليك فاستقبله السلطان المملوكي قايتباي بحفاوة بالغة، مما أثار غضب السلطان العثماني بايزيد الثاني[34].

واتخذ السلطان العثماني بايزيد الثاني موقفًا عدائيًا صريحًا من المماليك، وتصرف على محورين:

الأول: أنه ساند عسكريًا علاء الدولة بن ذي القدر الذي هاجم ملطية التابعة للمماليك في عام 888هـ 1483م.

الثاني: أنه أحكم سيطرته على الطرق التجارية، وعلى مصدر الخام البالغة الحيوية للمماليك كأخشاب السفن مثلاً، وبذل جميع المحاولات لإضعاف طاقتهم العسكرية، كما عرقل شراء الفتيان من أسواق البحر الأسود لنقلهم إلى مصر.

فأرسل السلطان قايتباي حملة عسكرية بقيادة تمراز الشمسي فانتصر على علاء الدولة وحلفائه العثمانين.

وهكذا أدَّت الصدامات المسلحة التي نشبت مع علاء الدولة بن ذي القدر بين أعوام 888- 890هـ / 1483-1485م إلى أول حرب مملوكية – عثمانية[35].

واضطر قايتباي إلى الدفاع عن أراضيه أما اعتداءات العثمانيين، ومن هنا بدأت حملات الأمير أزبك، ضد أراضيهم واستطاع هذا الأمير إلحاق الهزيمة بالجيوش العثمانية ثلاث مرات، أسر في الحملة الأولى عام 891هـ/ 1486م عدد كبيرًا من العثمانيين من بينهم القائد أحمد بك بن هرسك[36].

ونتيجة لوساطة باي تونس عقدت اتفاقية سلام بينهما في 896هـ/ 1491م[37].

·                   تحسُّن العلاقات مرة أخرى بين المماليك والعثمانيين 896- 920هـ / 1491- 1415م.

لقد توقفت الحرب بين الدولتين، ولكن بشكل مؤقت، وساد الهدوء جبهات القتال، ولكن إلى حين، وتبادل الطرفان الهدايا والوفود سنة بعد سنة، كما نشطت حركة التبادل التجاري بينهما، وكان المماليك يشترون الأخشاب والحديد والبارود من آسيا الصغرى، وهي مواد غير متوفرة في مصر[38].

ومن مظاهر المشاركة النفسية الجيدة التي تجلَّت خلال هذه الفترة، أنه عندما توفى السلطان العثماني بايزيد الثاني، بكى السلطان الغوري عليه، وحزن لوفاته ثم صلى عليه صلاة الغائب في القلعة، كما صلى الناس عليه بعد صلاة الجمعة في الجامع الأزهر، وجامع ابن طولون[39].

·                   النزاع الأخير بين المماليك والعثمانيين 920- 923هـ/1514- 1517م:

لم يستمر الصلح بين المماليك والعثمانيين أكثر من ربع قرن، حيث إن تنامي هيبة الدولة العثمانية كحامية لجميع المسلمين، وانتصار سليم الأول على الصفويين في معركة جالديران في رجب عام 920هـ/ آب عام 1514م أزعج السلطان المملوكي قانصوه الغوري، فقد كان انتصار العثمانيين في جالديران مفاجأة غير متوقعة للمماليك الذين التزموا جانب الحياد تاركين الدولة العثمانية وحيدة في مواجهة الصفويين.

في أوائل عام 921 هـ / 1515م وصلت القاهرةَ تباشيرُ الأنباء عن استعدادات العثمانيين العسكرية، فقد كان الجيش والأسطول يستعدان لشن هجوم على مصر.

وفي مرج دابق شمالي حلب دارت رحى معركة عنيفة بين المماليك والعثمانيين سنة (922هـ – 1516م) وكان النصر حليف العثمانيين، وانتحر السلطان المملوكي قانصوه الغوري بالسم عندما علم بنتيجة المعركة، وأصبحت بلاد الشام ضمن أملاك العثمانيين.

وبعد انتصار السلطان العثماني سليم الأول في مرج دابق، توجه إلى مصر وبعد انتصاره على المماليك في موقعة الريدانية سنة 923هـ/ 1517م، شنق السلطان المملوكي طومان باي على باب زويلة، وبذلك أصبحت مصر ضمن أملاك الدولة العثمانية، وهكذا أُسقِطَت دولة المماليك الجراكسة.

وترجع أسباب سقوط الدولة المملوكية إلى عدة عوامل داخلية وأخرى خارجية.

أولاً: العوامل الداخلية:

1 ـ تراجع زعامة المماليك في العالم الإسلامي:

على أثر نجاح المماليك في صد غزوات المغول وجحافل تيمورلنك وطرد الصليبيين من بلاد الشام، ادعى حكام مصر لأنفسهم دور الريادة في العالم الإسلامي، واعتبروا دولتهم مركز الإسلام ودار الخلافة، وحملوا لقب “حماة الإسلام والمسلمين”، وسادت أوساطهم نزعة التفرد الديني والسياسي.

ووفقًا لمفاهيم العصر كانت الزعامة معقودة للحاكم المسلم الأقوى، أي للسلطان القادر على حماية الإسلام والمسلمين.

إلا أن الوضع المميز الذي تمتع به سلاطين المماليك، تبدل في أواخر القرن الخامس عشر الميلادي، ومطلع القرن السادس عشر، فقد ظهر عجز المماليك عن مواجهة أوروبا المتوثبة، وأضحى زعيم المسلمين غير قادر على حماية الإسلام والمسلمين، وبرز السؤال من جديد: من الذي ينبغي أن يتزعم المسلمين ويقودهم[40]

2 ـ الانحلال الاجتماعي:

ظلَّ المماليك على مدى ثلاثة قرون يعتبرون دولتهم طرازًا نموذجيًا للمجتمع المسلم العادل المحافظ على مبادىء الشرع، والواقع أن هذا المجتمع رفض كل البدع، وساده التقوى، وانتشر الإيمان الحقيقي بين فئاته، كما احتضن الخلفاء العباسيين بالإضافة إلى علماء الدين الذين كان لهم الرأي الصائب والكلمة المسموعة.

وتغير واقع الحال مع مرور الزمن، وأضحى الأمر بعيدًا كل البعد عن الصورة التي رسمناها، إذ إن معظم المسلمين بدأوا منذ أواخر القرن الخامس عشر الميلادي يشعرون بتراجع دولة المماليك على الصعيد الاجتماعي، وجاهروا أن مصر أضحت بلدًا لا يطبق بعض مبادىء الشريعة الإسلامية[41].

3 ـ انعزال المماليك عن المجتمع:

كوَّن المماليك مجتمعًا مغلقًا خاصًا بهم، فلم يختلطوا بالرعية، بل ظلوا بمعزل عنهم مترفعين عليهم، محتفظين بجنسهم وعاداتهم، وكان التحدث باللغة التركية شرطًا أساسيًا في الانتساب إلى الطبقة الحاكمة، فالمماليك كانوا يتحدثون بهذه اللغة في مجتمعاتهم واجتماعاتهم، وانحصر زواجهم إمّا من نساء تركيات جيء بهن خصيصًا لهذه الغاية، أو من بنات الأمراء، ولم يتزوجوا من بنات مصر إلا في القليل النادر، لكن زواجهم هذا لم يغير عادة العزلة فيهم، ولم يدعهم إلى الاختلاط بغيرهم، مما أوجد فجوة بين الحكام والمحكومين[42].

4 ـ فساد النظام الإداري:

كان التنظيم الإداري والعسكري في بداية العصر المملوكي نظامًا فعالاً وصارمًا، فعندما يعتلي سدة الحكم سلاطين أقوياء، يضبطون الأمور بحزم وحكمة.

لكن هذا التنظيم بدأ يفقد فعاليته تدريجيًا، إذ أن الصلاحيات الواسعة التي منحها السلاطين للأمراء ضمانًا لولائهم قد أساءوا استعمالها، وأن السلاطين أنفسهم لم يقيدوا تلك الصلاحيات؛ مما أفسح بالمجال أمام الطامحين للخروج على الطاعة، وقد أدى التهاون في ضبط هذا التنظيم الذي حمل في طياته بذور الفساد، أن نمت هذه البذور وتفتحت؛ ففسخت أواصره وأفقدته تماسكه، خاصة في ظل حكم السلاطين الصغار والضعفاء، عندئذٍ يبرز الأمير القوي الذي يعزل السلطان ويجلس مكانه[43].

5 ـ فساد النظام الإقطاعي:

لقد قدم الفلاح في العصر المملوكي الكثير من الضرائب النقدية والعينية، وكانت طريقة تحصيلها تتسم في الغالب بالعنف، وقد عانى إلى جانبها من التزامات متنوعة، وقيود مفروضة عليه ألزمته قسرًا الفلاحة في الإقطاعية، فأضحى عبدًا لصاحبها لا يستطيع الهرب منها والتخلص من ظلم المقطِع وقسوته، وليس له من خيراتها إلا القليل.

أمَّا الأمراء فقد أحجموا عن الاهتمام بإقطاعاتهم طالما أنها غير وراثية، وازداد اعتمادهم على الرواتب النقدية والعينية، كما تراجع بناء الجسور والأقنية، وأُهمِلَ ترميم ما هو قائم منها، فتدهور الانتاج الزراعي، وازداد عجز الدولة عن سد النفقات العسكرية، فاضطر السلطان إلى فرض مزيد من الضرائب بشكل تعسفي، فنتج عن ذلك انطلاق المقاومة الشعبية بكل أشكالها[44].

6 ـ التدهور الاقتصادي:

منذ اعتلاء السلطان قايتباي عرش السلطنة في عام 872 هـ / 1468م بدأت مظاهر التدهور الاقتصادي على الدولة المملوكية؛ وذلك من خلال المظاهر التالية:

أ ـ انحلال النظام الداخلي.

ب ـ إهمال الأسس التي قامت عليها تربية المماليك.

ج ـ بذخ السلاطين وترفهم.

د ـ كثرة المصادرات.

هـ ـ كثرة فرض الضرائب[45].

ثانيًا: العوامل الخارجية:

أدَّى الانشقاق الداخلي في صفوف المسلمين في العالم الإسلامي إلى إضعاف المجتمع الإسلامي تجاه العدو الخارجي، كما أن النزاع الديني الذي أعاق علاقات الشرق بالغرب أخذ يتفاقم من جديد في أواسط القرن الخامس عشر الميلادي، وظلت الصليبية الغربية المتجددة هي العدو الرئيسي للإسلام والمسلمين كما كانت سابقًا.

فقد وجهت البرتغال ضربة قاصمة إلى قلب التجارة المملوكية مع الهند، وشكَّل الكشف الجغرافي وتواجد البرتغاليين في مياه الهند، وسيطرتهم على التجارة الشرقية كارثة حقيقية للدولة المملوكية، وقد هدف البرتغاليون من وراء ذلك إلى القضاء على مصدر ثراء هذه الدولة، الداعم لقوتها العسكرية، وقد نجحوا في ذلك وأنهوا فعلاً السيطرة المملوكية على المياه والتجارة الشرقية منذ مطلع القرن السادس عشر الميلادي، وتبع ذلك تدهور أوضاع الدولة الاقتصادية نظرًا لفقدانها موردًا حيويًا ومهمًا مما أدى بدوره إلى زعزعة قوتها وثروتها.

كانت هذه الضربة الأولى التي وُجِّهت إلى الدولة المملوكية فأضعفتها.

أما الضربة الثانية والتي قضت عليها فقد جاءت على أيدي العثمانيين، وأنهى السلطان سليم الأول العثماني دور المماليك الفاعل في معركة مرج دابق، ثم قضى على دولتهم المستقلة في موقعة الريدانية، وورث ممتلكاتهم وألقابهم ليصبح حامي الإسلام والمسلمين[46].

والله أعلم بالصواب والخطأ


[1] ابن منظور: لسان العرب، ج 10 ، ص 493

[2] د/ طقوش: تاريخ المماليك في مصر وبلاد الشام، ص 15 ، 16 .

[3] د/ راغب السرجاني: قصة التتار، ص 211 ، 212

[4] د/ راغب السرجاني: قصة التتار، ص 214 ـ 216 .

[5] د/ راغب السرجاني: قصة التتار، ص 216،217 .

[6] قاسم عبده قاسم: ماهية الحروب الصليبية، ص129-130.

[7] د/ طقوش: تاريخ المماليك في مصر وبلاد الشام، ص 31 ـ 34 . د/ راغب السرجاني: قصة التتار، ص 225 ، 226 .

[8] د/ راغب السرجاني: قصة التتار، ص 226 ، 228 .

[9] محمود شاكر: موسوعة التاريخ الإسلامي، العهد المملوكي،ج7 ، ص 36 ، 37 .

[10] محمود شاكر: موسوعة التاريخ الإسلامي، العهد المملوكي،ج7 ، ص70.

[11] محمود شاكر: موسوعة التاريخ الإسلامي، العهد المملوكي،ج7 ، ص71.

[12] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 88 ـ 90.

[13] المرجع السابق، ص 90 ـ 92 .

[14] المرجع السابق، ص 119.

[15] د/ طقوش : تاريخ المماليك ، ص 152 ،153 .

[16] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 153 ، 154 .

[17] قاسم عبده قاسم: ماهية الحروب الصليبية ، صـ131- 133.

[18] محمد سهيل طقوش: تاريخ المماليك في مصر وبلاد الشام، ص208:204.

[19] محمود شاكر: موسوعة التاريخ الإسلامي، العهد المملوكي، ج7 ، ص 15 ـ 17.

[20] المقريزي: الخطط، ج2، ص 70.

[21] د/ محمود محمد الحريري: مصر في العصور الوسطى، ص 287، 288.

[22] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 109 ، 110.

[23] النويري: نهاية الأرب، ج30، ص 87. العيني: عقد الجمان في تاريخ أهل الزمان، ج1، 361.

[24] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 147 ـ 149 .

[25] د/ عبد العزيز الشناوي: أوروبا في مطلع العصور الحديثة، ج1، ص104.

[26] د/ عبد العزيز الشناوي: المرجع السابق، ص 105.

[27] هايد: تاريخ التجارة في الشرق الأدنى، ترجمة/ أحمد محمد رضا، ج4، ص 30.

[28] أحمد دراج: المماليك والفرنج، ص 137.

[29] سعيد عبد الفتاح عاشور: العصر المماليكي في مصر والشام، ص 178 ، 179 . أحمد دراج: المرجع السابق، ص 137، 138. هايد: المرجع السابق، ص 31.

[30] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 554.

[31] المقريزي: السلوك، ج4، ص656.

[32] ابن إياس:بدائع الزهور، ج2، ص245، 246.

[33] ابن إياس: المصدر السابق، 316.

[34] ابن إياس: بدائع الزهور، ج3، ص183، 185.

[35] ابن إياس: بدائع الزهور، ج3 ص218، 219.

[36] المصدر السابق، ص226.

[37] إيفانون: الفتح العثماني للأقطار العربية، ترجمة/ يوسف عطا الله، ص56.

[38] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص492.

[39] ابن إياس: المصدر السابق، ج4، ص270.

[40] إيفانوف: الفتح العثماني للأقطار العربية، ترجمة/ يوسف عطا الله، ص 37 ـ 40 . وانظر أيضًا د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 555، 556.

[41] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 556، 557.

[42] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 558، 559.

[43] المرجع السابق، ص 559، 560.

[44] المرجع السابق، ص 562، 563.

[45] د/ طقوش: تاريخ المماليك، ص 564 ـ 567 .

[46] المرجع السابق، ص 567 ـ 569 .